Sunday, January 3, 2016

Kerangka Penjelas Konflik Agraria Struktural


SEBAB – SEBAB
Pemberian izin/hak/konsesi oleh pejabat publik (Menteri Kehutanan, Menteri ESDM, Kepala BPN, Gubernur, Bupati/Walikota) yang memasukan tanah/wilayah kelola/SDA kepunyaan sekelompok rakyat ke dalam konsesi badan – badan usaha raksasa dalam bidang produksi, ekstraksi, maupun konservasi.
Penggunaan kekerasan, manipulasi, dan penipuan dalam pengadaan tanah skala besar untuk proyek – proyek pembangunan, perusahaan – perusahaan raksasa, dan pemegang konsesi lain dalam bidang produksi, ekstraksi, atau konservasi.
Eksklusi sekelompok rakyat pedesaan dari tanah/wilayah kelola/SDA yang dimasukan ke dalam konsesi badan usaha raksasa tersebut.
Perlawanan langsung dari kelompok rakyat sehubungan eksklusi tersebut.


AKIBAT – AKIBAT
Eksklusi rakyat, perempuan dan laki – laki, atas tanah, wilayah, dan SDA yang diperebutkan secara langsung, berakibat hilangnya (sebagian) wilayah hidup, mata pencaharian, dan kepemilikan atas harta benda.
Menyempitnya ruang hidup rakyat, yang diiringi menurunnya kemandirian rakyat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, utamanya pangan.
Last but not least, transformasi dari petani menjadi pekerja upahan

AKIBAT LANJUTAN
Konflik yang berkepanjangan menciptakan krisis sosial ekologi yang kronis, termasuk mendorong penduduk desa bermigran ke wilayah – wilayah baru untuk mendapatkan tanah pertanian baru atau
pergi ke kota menjadi golongan miskin perkotaan
Dalam krisis sosial ekologis ini secara khusus perhatian perlu diberikan pada berbagai bentuk ketidakadilan gender, di mana perempuan dari kelompok marginal menghadapi dan menanggung beban yang jauh lebih besar.
Merosotnya kepercayaan masyarakat setempat terhadap pemerintah pada gilirannya dapat menggerus rasa ke-Indonesia-an para korban.
Meluasnya artikulasi konflik agraria ke bentuk – bentuk konflik lain seperti: konflik etnis, konflik agama, konflik antar kampung/desa, dan konflik antar “penduduk asli” dan pendatang.
KONDISI YANG MELESTARIKAN
Tidak adanya koreksi atas putusan – putusan pejabat publik yang memasukan tanah/wilayah kelola/SDA rakyat ke dalam konsesi badan usaha atau badan pemerintah raksasa untuk produksi, ekstraksi, maupun konservasi, dan di sisi lain, berlangsungnya terus – menerus proses pemberian izin/hak pada badan – badan raksasa tersebut.
Lembaga – lembaga pemerintah tidak pernah membuka informasi kepada publik, apalagi dikontrol oleh publik, perihal penerbitan hak/izin/lisensi yang berada pada kewenangannya.
Ketiadaan kelembagaan yang memiliki otoritas penuh, bersifat lintas sektor kelembagaan pemerintahan, dan adekuat dalam menangani konflik agraria yang telah, sedang, dan akan terjadi.
Badan – badan usaha atau badan – badan pemerintah bersikap defensif apabila rakyat mengartikulasikan protes berkenaan dengan hilang atau berkurangnya akses rakyat atas tanah, SDA, dan wilayahnya sebagai akibat dari hak/izin/lisensi yang mereka dapatkan itu. Lebih lanjut, protes rakyat disikapi dengan kekerasan, kriminalisasi, dan intimidasi.
Sempitnya ruang lingkup dan terhambatnya pelaksanaan program yang disebut “Reforma Agraria” dalam membereskan ketimpangan penguasaan tanah dan SDA. Lebih dari itu, kita menyaksikan berbagai skandal dalam implementasi redistribusi tanah, misalnya pemberian tanah bukan pada mereka yang memperjuangkan, pengurangan jumlah tanah yang seharusnya diredistribusi, penipuan, dan tanah – tanah yang diredistribusi ternyata malah dikuasi oleh tuan – tuan tanah.
AKAR MASALAH
Tidak adanya kebijakan untuk menyediakan kepastian penguasaan (tenurial security) bagi akses tanah – tanah/SDA/wilayah kelola masyarakat, termasuk pada akses yang berada dalam kawasan hutan negara.
Dominasi dan ekspansi badan – badan usaha raksasa dalam industri ekstraktif, produksi perkebunan dan kehutanan, serta konservasi.
Instrumentasi badan – badan pemerintahan sebagai “lembaga pengadaan tanah” melalui rezim – rezim pemberian hak/izin/lisensi atas tanah dan sumber daya alam.
UUPA 1960 yang pada mulanya ditempatkan sebagai UU payung, pada praktiknya disempitkan hanya mengurus wilayah non hutan (sekitar 30% wilayah RI), sementara prinsip – prinsipnya diabaikan.
Peraturan perundang – undangan mengenai pertanahan/kehutanan/PSDA lainnya tumpang tindih dan bertentangan antara satu dengan yang lain.
Hukum – hukum adat yang berlaku di kalangan masyarakat diabaikan atau ditiadakan keberlakukannya oleh perundang – undangan agraria, kehutanan dan pertambangan.
Sektoralisme kelembagaan, sistem, mekanisme, dan administrasi yang mengatur pertanahan/kehutanan/SDA lainnya semakin menjadi – jadi.
Last but not least, semakin menajamnya ketimpangan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan peruntukan tanah/hutan/SDA lainnya.


Sumber: Sajogyo Institute’s Working Paper

No comments:

Post a Comment